JAKARTA – Indonesia mengalami krisis kelapa. Harga sebutir kelapa parut di pasar-pasar tradisional di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) rata-rata dibanderol Rp20.000-Rp25.000. Padahal harganya normalnya hanya Rp8.000 hingga Rp12.000 saja.
Kenaikan harga hingga dua kali lipat ini terjadi sejak Ramadhan lalu. Lonjakan harga ini memukul banyak pihak. Para pedagang, konsumen, hingga industri pengolahan kelapa merasakan dampak kenaikan harga tersebut.
Melonjaknya permintaan ekspor menjadi biang kerok tingginya harga kelapa bulat di Tanah Air. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor komoditas kelapa di dalam kulit (endocarp) atau HS 08011200 mencapai USD45,6 juta hingga Maret 2025.
Capaian tersebut mengalami peningkatan sebesar 146% (C-to-C) dibandingkan periode Januari-Maret 2024 yang tercatat senilai USD18,2 juta. “Kelapa yang masih dalam kulit total ekspornya USD45,6 juta sepanjang Januari-Maret 2025,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (21/4/2025).
Baca Juga: Tiga Strategi Kembangkan Budidaya Kelapa di Indonesia
Merujuk data BPS, Indonesia paling banyak mengekspor komoditas ini ke China, Vietnam, dan Thailand. Secara terperinci, nilai ekspor kelapa bulat ke Negeri Tirai Bambu mencapai USD43,1 juta hingga Maret 2025, diikuti Vietnam USD2,06 juta, Thailand USD299.426, dan lainnya USD144.806.
Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) Rudy Handiwidjaja mengatakan kondisi kelapa bulat dalam negeri tengah dalam krisis, ditambah pula dengan ekspor yang melonjak ke China. Kurangnya bahan baku ini bukan hanya terjadi di konsumsi rumah tangga alias pasar tradisional, melainkan juga untuk industri.
Di samping harganya yang menanjak, komoditas ini juga sulit ditemukan lantaran produksi kelapa di industri yang hanya mencapai 40%-50% lantaran cuaca hingga pohon kelapa yang sudah menua. “Bahkan ada industri kita, anggota dari Hipki itu yang sudah tidak jalan sama sekali karena kekurangan bahan baku,” ungkapnya.
Rudy menjelaskan, kondisi ini terjadi lantaran dipengaruhi dua faktor. Pertama, imbas cuaca tahun lalu, di mana terjadi el nino yang menyebabkan produksi kelapa di tingkat petani hanya mencapai 40%.
Baca Juga: Tak Hanya Sawit, Pemerintah Bakal Terapkan Pungutan Ekspor Kelapa
“Ditambah lagi karena semua negara itu kekurangan kelapa dan sudah tidak boleh ekspor, hanya Indonesia yang boleh ekspor, sehingga negara-negara dari luar itu membeli kelapa dari Indonesia,” tandasnya.
Asosiasi Petani Kelapa Indonesia (APKI) berkomitmen mencari solusi di tengah polemik wacana moratorium ekspor kelapa yang tengah santer dibahas bersama pemerintah. Wakil Ketum APKI Ikbal Sayuti mengatakan pihaknya kini fokus membangun sinergi bersama Hipki untuk mendapatkan solusi masalah harga kelapa di Indonesia.
“Terkait kabar adanya surat moratorium atau larangan ekspor kelapa, keputusan tersebut belum final karena harus melibatkan beberapa kementerian dan nantinya diputuskan oleh Presiden,” ungkapnya, Senin (28/4/2025).
Ikbal yang juga anggota DPRD Riau Komisi II tersebut menegaskan, APKI tidak menolak wacana moratorium apabila tujuannya untuk menyelamatkan industri kelapa nasional dan mendorong hilirisasi. Namun, dia mengkritisi ketimpangan daya saing industri lokal yang sering kalah bersaing dengan pasar ekspor.
Dia menyebut kalau industri di luar negeri bisa membeli dengan harga mekanisme pasar, namun industri di Riau malah tidak sanggup. Sementara saat mengirim kelapa keluar negeri itu ada biaya penyusutan dan biaya transportasi, tapi ekspor komoditas itu masih tetap jalan sampai sekarang.
Baca Juga: Pengelolaan Dana untuk Kakao dan Kelapa Digabung ke BPDPKS
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, para petani kelapa saat ini tengah menikmati harga yang cukup menguntungkan. Untuk itu, dia mengharapkan masyarakat dapat memberikan ruang bagi para petani untuk menikmati harga yang cukup baik tersebut.
Seiring meningkatnya permintaan global, Amran menyebut bahwa Indonesia berencana untuk mempercepat masa tanam, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. Mengingat, kondisi ini dapat menambah devisa negara.
“Kesimpulannya, komoditas perkebunan strategis yang demand-nya tinggi fokus rehab, replanting, tanam baru, pemeliharaan yang baik, karena menghasilkan devisa,” ujar Amran ketika melaksanakan konferensi pers di Kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Kamis (17/4/2025).
Amran menyampaikan, pemerintah setidaknya mencatat terdapat 10 komoditas strategis dengan permintaan yang cukup tinggi di tingkat global. Selain kelapa, ada kakao, pala, kelapa sawit, hingga ubi.
Dengan adanya data tersebut, pemerintah berupaya untuk meningkatkan ekspor sepuluh komoditas itu untuk mendatangkan lebih banyak devisa. “Apa tujuan kita? Meningkatkan ekspor, kemudian menekan impor. Pada gilirannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini tujuan akhir kita,” katanya.
Pungutan Ekspor
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengenakan tarif pungutan ekspor (PE) kelapa yang tengah disusun di dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag Farid Amir mengatakan saat ini Permendag dan PMK terkait PE tengah dalam tahap penyusunan. “Kelapa akan dikenakan tarif pungutan ekspor. Saat ini Permendag dan PMK yang terkait sebagai perangkat hukum pengenaan PE sedang dalam proses penyusunan,” ujar Farid.
Farid menambahkan, selain kelapa sawit, pemerintah telah menambahkan kakao dan kelapa sebagai komoditas yang memiliki dana perkebunan, atau dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang bertujuan untuk mendorong pengembangan perkebunan berkelanjutan.
Hal ini berdasarkan Peraturan Presiden 132 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan. “Adapun sumber dananya, salah satunya berasal dari pelaku usaha perkebunan melalui pungutan ekspor dan iuran,” ungkapnya.
Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mendukung penuh pengembangan industri kelapa di Indonesia. “Kita ingin Indonesia memiliki komoditas-komoditas unggulan selain kelapa sawit. Salah satu yang potensial untuk dikembangkan adalah budidaya kelapa. Kita sudah seratus tahun mengembangkan kelapa, bukan tidak mungkin kelapa akan seperti kelapa sawit bisa menjadi komoditas penyumbang devisa ekspor terbesar nasional,” Kepala Divisi Perusahaan BPDP Achmad Maulizal Sutawijaya, kepada SAWITKITA, belum lama ini.
Meskipun saat ini kondisi petani kelapa belum sejahtera seperti petani kelapa sawit, melalui program pemerintah yang konsisten, petani kelapa bisa meningkat kesejahteraannya. Berbagai program strategis telah diluncurkan pemerintah seperti program tumpang sisip kelapa dengan padi gogo yang digagas sejak tahun lalu. (SDR)
Lifestyle
Motivation
Anime Batch
Ekspedisi Papua
Jasa Import China
Berita Olahraga