Battleprincessmadelyn Tak Berkategori Limitasi Business Judgment Rule Terhadap Pertanggung Jawaban Pidana Direksi BUMD Dalam Tindak Pidana Korupsi

Limitasi Business Judgment Rule Terhadap Pertanggung Jawaban Pidana Direksi BUMD Dalam Tindak Pidana Korupsi


Jacky Franklin Lomi, SH

Prinsip Business judgment Rule (BJR) merupakan doktrin dalam hukum perseroan yang bertujuan memberikan perlindungan bagi Direksi dari tanggung jawab atas kerugian korporasi yang timbul dari keputusan bisnis yang dilakukan secara wajar dan itikad baik.

Namun dalam konteks Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola keuangan Daerah, penggunaan prinsip “BJR” berkembang secara salah kaprah dan kerap dijadikan dalil untuk menghindari pertanggung jawaban pidana.

BUMD dibentuk oleh Pemerintah Daerah untuk menjalankan fungsi bisnis sekaligus pelayanan public meski berwujud Perseroan Terbatas (PT), modal BUMD Sebagian atau seluruhnya berasal dari keuangan Daerah, sehingga setiap kebijakan Direksi terkait langsung dengan kepentingan public.

Dalam menjalankan usaha, Direksi BUMD dihadapkan pada resiko bisnis, dan hukum perseroan memberikan perlindungan melalui doktrin Business Judgment Rule (BJR).

Doktrin ini menegaskan bahwa Direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian korporasi apabila keputusan bisnis dilakukan dengan itikad baik, tampa konflik kepentingan dan berdasarkan informasi memadai. Namun dalam praktik doktrin ini sering digunakan sebagai dasar pembelaan bagi Direksi BUMD yang terjerat perkara Korupsi. Aparat Penegak Hukum (APH) kerap menemui kesulitan dalam membedakan antara antara resiko bisnis yang sah dengan tindakan yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau melawan Hukum. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana “BJR” dapat di jadikan dasar pembelaan dalam Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Direksi BUMD ?

Dalam artikel ini penulis akan menganalisis batasan penerapan “BJR” serta merumuskan limitasi khusus dalam konteks tindak pidana korupsi yang menyangkut keuangan Daerah.

Prinsip BJR dalam Hukum Perseroan Indonesia

A. Konsep dan Usur Business Judgment Rule

Dalam teori Hukum korporasi, “BJR” dibangun atas premis bahwa Direksi memerlukan ruang kebebasan untuk mengambil resiko bisnis tampa ancaman tuntutan Hukum atas setiap kegagalan usaha. Doktrin ini lahir dari paraktik Hukum atas setiap kegagalan usaha dan doktrin ini juga lahir dari praktik Hukum Common Law dan kemudian diadopsi dalam berbagai sitem Hukum modern termasuk di Indonesia. Dalam Undang – Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Prinsip “BJR” tercermin secara implisit, khususnya dalam ketentuan pasal 97 ayat (5) yang menyatakan bahwa anggota Direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian Perseroan apabila dapat membuktikan bahwa :

  1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
  2. Pengurusan dilakukan dengan itikad baik dan kehati – hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
  3. Tidak terdapat benturan lepentingan, baik langsung maupun tidak langsung dan
  4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Unsur – unsur tersebut menunjukan bahwa” BJR” berfungsi sebagai mekanisme perlindungan (Liability shield ) bagi Direksi dari tuntutan pertanggung jawaban Hukum atas keputusan bisnis yang keliru, sepanjang keputusan tersebut diambil secara profesional dan beritikad baik.

B. Ruang Lingkup Perlindungan BJR

Secara konseptual, perlindungan Business Judgment Rule (BJR) ditujukan terutama terhadap tanggung jawab Perdata, khususnya gugatan ganti kerugian oleh perseroan atau pemegag saham. Doktrin ini tidak dirancang sebagai instrument untuk meniadakan pertanggungjawaban Pidana, oleh karena itu penerapan “BJR” harus ditempatkan secara proporsional sesuai dengan tujuan awalnya. Dalam Konteks perseroan swasta, kerugian akibat keputusan bisnis yang gagal pada umumnya merupakan resiko komersial. Negara tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kerugian tersebut, kecuali dalam hal tertentu.

Namun, karakter BUMD berbeda secara fundamental karena modalnya bersumber dari keuangan Daerah yang merupakan bagian dari keuangan Negara.

Karakteristik Khusus BUMD dan Implikasinya Terhadap BJR

A. BUMD sebagai Entitas bisnis dan Instrumen Pengelolaam Keuangan Daerah.

BUMD berada pada posissi hibrida antara entitas bisnis dan instrument kebijakan public daerah. Disatu sisi, BUMD dituntut untuk menjalankan prinsip – prinsip korporasi yang sehat dan berorientasi pada keuntungan dan pada sisi lainnya BUMD mengelola penyertaan modal Daerah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan bertujuan meningkatkan kesejahteran masyarakat. Konsekwensinya, setiap keputusan bisnis Direksi BUMD tidak hanya berdampak pada korporasi, tetapi juga berimplikasi pada keuangan Daerah sehingga standar kehati – hatian dan akuntabilitas Direksi BUMD seharusya lebih tinggi dibandingkan perseroan swata murni.

B. Keuangan Daerah sebagai Objek Perlindungan Hukum PIdana.

Dalam rezim Hukum Pidana, keuangan Daerah diposisikan sebagai bagian dari keuangan Negara yang dilindungi secara Khusus. Undang – Undang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa setiap perbuatam yang merugikan keuanagan Negara atau Daerah dan dilakukan dengan cara melawan Hukum atau menyalah gunakan kewenangan dapat dimintai pertanggung jawaban Pidana. Dengan demikian, ketika keputusan Direksi BUMD menyebabkan kerugian keuangan Daerah maka persoalan tersebut tidak hanya berada dalam ranah Hukum Perdata atau Hukum perseroan tetapi dapat bergeser ke ranah Hukum Pidana apabila terpenuhi unsur -unsur Tindak Pidana Korupsi.

Distorsi Penerapan BJR dalam Perkara Korupsi BUMD

Dalam praktik penegakan Hukum, “BJR” seringkali dikemukakan sebagai dalil pembelaan oleh Direksi BUMD yang di dakwa melakukan tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan Daerah diklaim sebagai konsekwensi dari resiko bisnis yang wajar.

Distorsi ini muncul ketika setiap kegagalan usaha secara otomatis dikatagorikan sebagai resiko bisnis tampa dilakukan pengujian terhadap proses pengambilan keputusannya.

Pendekatan semacam ini berbahaya karena berpotensi mengaburkan perbedaan antara keputusan bisnis yang jujur dan tindakan yang sejak awal mengandung unsur penyalahgunaan kewenangan, konflik kepentingan atau perbuatan melawab Hukum.

Limitasi BJR Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Direksi BUMD

  1. BJR tidak berlaku terhadap perbuatan melawan Hukum

Limitasi pertama dan paling mendasar adalah bahwa BJR tidak dapat diterapkan apabila keputusan bisnis Direksi dilakukan dengan melanggar Hukum. Keputusan yang bertentangan dengan peraturan Perundang – undangan,prosedur pengadaan, atau prinsip tata kelola keuangan yang baik (good corporate governance) sejak awal telah kehilangan perlindungan “BJR”

  1. Tidak berlaku dalam hal penyalahgunaan wewenang

Direksi BUMD merupakan pejabat yang memiliki kewenangan mengelola keuangan Daerah yang di pisahkan. Apabila kewenangan tersebut digunakan untuk tujuan menyimpang dari kepentingan perseroan dan kepentingan publik maka unsur penyalahgunaan wewenang terpenuhi. Dalam kondisi demikian “BJR” tidak dapat dijadikan tameng untuk meniadakan pertanggungjawaban pidana.

  1. Konflik kepentingan menggugurkan perlindungan BJR

Business judgment Rule (BJR) mensyaratkan tidak adanya benturan kepentingan. Apabila Direksi mengambil keputusan yang menguntungkan diri sendiri,keluarga atau pihak tertentu yang memiliki hubungan afiliasi maka sejak saat itu perkindungan “BJR” gugur. Konflik kepentingan merupakan indikator kuat adanya niat tidak baik ( bad faith ) yang relevan dalam pembuktian tindak pidana korupsi.

4. Kegagalan membuktikan proses pengambilan keputusan yang wajar

Dalam perkara pidana, fokus penilaian tidak hanya terletak pada akibat berupa kerugian keuangan Daerah tetapi juga pada proses pengambilan keputusan. Apabila Direksi tidak dapat membuktikan bahwa keputusan bisnis diambil berdasarkan kajian yang memadai,anakisis resiko yang rasional dan informasi yang cukup maka dalil “BJR” menjadi tidak relevan.

Business Judgment Rule (BJR) merupakan prinsip penting dalam Hukum perseroan untuk melindungi Direksi dari kriminalisasi yang jujur. Namun dalam konteks BUMD yang mengelola keuangan Daerah, penerapan prinsip ini harus dibatasi secara ketat.

“BJR” tidak boleh dijadikan alat legitimasi untuk menutupi perbuatan melawan Hukum, penyalahgunaan wewenang atau konflik kepentingan yang berujung kerugian keuangan Daerah.

Penegakan Hukum pidana korupsi terhadap Direksi BUMD harus tetap memperhatikan prinsip kehati -hatian agar tidak mengkriminalisasi kebijakan bisnis yang sah. Namun pada saat yang sama Aparat Penegak Hukum dan Hakim perlu menempatkan “BJR” secara proposional yakni sebagai doktrin Hukum perdata yang tidak menghapus pertanggung jawaban pidana apabila unsur – unsur tindak pidana korupsi terbukti secara sah dan meyakinkan.

Dengan Limitasi yang jelas, diharapkan penerapan “BJR” dapat memberikan kepastian Hukum, mencegah impunitas, serta menjaga akuntabilitas pengelolaan keuangan Daerah oleh Direksi Badan Usaha Milik Daerah.

Oleh Jacky Franklin Lomi, SH
(Jaksa pada Kejaksaan Tinggi NTT )

Agen Togel Terpercaya

Bandar Togel

Sabung Ayam Online

Berita Terkini

Artikel Terbaru

Berita Terbaru

Penerbangan

Berita Politik

Berita Politik

Software

Software Download

Download Aplikasi

Berita Terkini

News

Jasa PBN

Jasa Artikel

News

Breaking News

Berita

Related Post

Good fresh fruit & Jokers: one hundred outlines Playson Position lobstermania online pokies Comment & Trial Will get 2025Good fresh fruit & Jokers: one hundred outlines Playson Position lobstermania online pokies Comment & Trial Will get 2025

Our very own instructions is fully created in line with the training and private connection with our expert group, to the sole function of becoming beneficial and you can academic